Review The Girl On The Train
Welcome 2017, review pertama di tahun ini,
setelah taun 2016 sangat super males sekali untuk bikin review, hahaha. Inipun
“memaksakan” membuat review demi mengikuti Reading Challenge Noura Books dengan
yang salah satu syaratnya mereview buku The Girl On The train. Karena saya
tidak memiliki buku fisiknya, maka saya membacanya di iJak. Sebuah solusi baru
yang menyenangkan, karena bisa menikmati buku yang tergolong baru ketika isi
dompet tidak mengizinkan, hahaha. Curahan hati fakir buku ini mah.
Oke balik ke buku, buku ini terbit tahun
2015 dan sudah baru difilmkan, jadi cucok lah ya buat baca buku ini
sebelum nonton filmnya. Saya pertama kali tahu buku ini karena di salah satu
komunitas buku yang saya ikuti, karena buku ini menjadi buku bacaan bulanan
wajib member komunitas tersebut.
Judul buku : The Girl On The Train
Pengarang : Paula Hawkins
penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penernit : PT. Noura Books
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman : 346 (iJakarta)
ISBN : 978 - 602 - 0989 - 97 - 6
Ini sampul bukunya yang diterbitkan oleh Noura Books |
Judul buku : The Girl On The Train
Pengarang : Paula Hawkins
penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penernit : PT. Noura Books
Tahun terbit : 2015
Jumlah halaman : 346 (iJakarta)
ISBN : 978 - 602 - 0989 - 97 - 6
Buku ini ternyata bercerita dari tiga
sudut pandang dengan rentang waktu yang maju mundur. Kok bisa tahu maju mundur
sih? Karena di setiap sudut pandang terdapat keterangan sudut pandang siapa
beserta waktunya. Jadi kita nggak akan bingung walaupun berganti-ganti sudut
pandang.
Nah, sudut pandang pertama yaitu Rachel,
sang tokoh utama. Jangan bayangkan tokoh utama yang cool, calm , funky
yaaa, karena Rachel sangat jauuuuuuh dari itu. Dia tipe gagal move on
akut. Dimana dia tidak bisa menerima
bahwa perkawinannya dengan Tom, sudah berakhir, karena Tom lebih memilih
selingkuhannya, Anna daripada dirinya. Dia masih belum melupakan Tom, dia masih
sering menelepon Tom ke rumahnya dan itu membuat Anna merasa terganggu. Sebagai
pengalih perhatiannya dia semakin menenggelamkannya pada keadaan mengasihani
diri sendiri dan menjadi alkoholik parah, selain itu dia menjadi paranoid dan
suka berkhayal. Salah satu khayalannya adalah pasangan suami istri yang
sempurna yang setiap hari dia lihat dari kereta api yang tinggal di Blenheim
Road, Witney nomer 15, empat rumah dari tempat tinggalnya bersama Tom dulu. Dia
secara rutin naik kereta pukul 08.04 untuk sampai ke London. Oke ini hanya sebuah
upaya Rachel untuk mengelabui Cathy, teman yang menampungnya ketika dia keluar
dari rumahnya, karena sebenarnya dia sudah dipecat dari
pekerjaannya. Dia melakukan itu karena takut Cathy akan mengusirnya. Rachel
menamai penghuni nomer 15 tersebut dengan nama Jason dan Jess, pasangan
sempurna yang saling melengkapi, seperti dirinya dan Tom, dulu. Sampai suatu
ketika dia melihat Jess berciuman dengan seseorang dan itu bukan Jason, hal ini
mengganggu pikirannya apalagi esoknya dia mendapati berita bahwa Megan hilang.
Sejak saat itu hidup Rachel lalu mulai
teralih pada hal-hal yang berkaitan dengan hilangnya Megan. Mulai dari
mengumpulkan berita tentangnya sampai menemui Scott (nama asli Jason) untuk
memberitahunya tentang megan yang berciuman dengan seorang lelaki di depan
rumahnya. Dia berusaha membantu (atau malah mengacaukan) penyelidikan atas
hilangnya Megan, bukan karena apa-apa sih tapi lebih karena ingin saja. Tapi
jangan bayangkan juga bahwa Rachel berubah menjadi serius dan menjadi detektif
dadakan karena hilangnya Megan, sama sekali tidak, dia masih sering mabuk dan
kehilangan waktu dan fokusnya dalam banyak hal. Sangat tidak membantu sama
sekali. Yang ada kesaksiannya malah diragukan karena kebiasaan minumnya dan
seringkali mengalami blockout.
Sudut pandang kedua yaitu tentang Megan
atau dalam khayalan Rachel bernama Jess. Dia adalah seorang pemilik galeri seni
yang frustasi karena harus menutup galerinya. Betapa tidak, kota kecil yang
sepi tentu saja tak banyak orang yang menaruh minat dan menghargai seni.
Traumanya setelah ditinggalkan Ben, kakaknya yang tergilas truk, membuatnya
sulit membuka dirinya dengan orang lain bahkan kepada Scott,
suaminya sendiri. Hingga suaminya menganjurkan untuk bertemu dengan seorang
terapis, Dr. Abdic Kamal. Dengan dialah Megan berselingkuh, anggap saja begitu.
Karena ternyata dialah lelaki yang Rachel lihat sedang mencimum Megan dari
kereta. Megan pernah menjadi pengasuh dari anak Tom dan Anna, tapi itu hanya
bertahan beberapa hari karena selain dia tidak menyukai anak kecil, dia juga
merasa pekerjaannya tidak berguna dan hanya menjadi pengganggu saja, karena toh
Anna tidak bekerja dan setiap waktu dia bersama dengan anaknya. Megan tidak
menyukai gagasan memiliki anak, dia hanya mencintai seni. Berbeda dengan Scott
yang mengharapkan kehadiran seorang anak, hal yang seringkali memicu
pertengkaran diantara mereka berdua. Apa yang dipertengkarkan Megan dan Scott
pada malam dia menghilang? Lalu siapa yang menculiknya dan karena apa? Simpan
rasa penasaranmu sampai kamu membaca buku ini, hahaha.
Dan yang terakhir adalah sudut pandang
Anna, ya Anna, wanita selingkuhan Tom yang membuatnya meninggalkan Rachel dan
memberinya satu anak lucu, Evie. Porsinya paling sedikit dibanding dua tokoh di
atas dan kebanyakan berisi tentang keluhannya tentang prilaku Rachel, mulai dari
teleponnya yang suka mengganggu dan terkadang kehadiran Rachel yang berkeliaran
di sekitaran rumahnya. Setiap kali melihat atau mendengar nama Rachel
sepertinya dia langsung merasa cemas dan ketakutan, karena pernah ada satu
waktu dimana Rachel mengambil anaknya ketika dia tertidur. Tetapi dia tidak
menyesali perbuatannya dengan Tom, dia merasa menang dan bahagia dengan adanya
Tom dan Evie disampingnya. Sepertinya dia tidak punya alasan untuk menculik
Megan, tapi benarkah?
Tokoh lain yang ada di buku ini tidak
banyak ada Tom, mantan suami Rachel yang sekarang menjadi suami Anna. Dia orang
yang “kepayahan” dengan tingkah laku Rachel yang sulit “melepaskannya” dan
harus selalu berusaha agar Anna tidak melaporkan Rachel ke polisi. Dia
digambarkan baik pada Rachel dan perhatian pada Anna. Tapi apakah bisa kita
mempercayai seorang lelaki yang dengan sengaja berselingkuh dari pasangannya? Bukan
tak mungkin kan ada wanita di balik wanita? Ah ... sudahlah.
Scott, suami Megan. Dia tipe lelaki yang
pengertian dan perhatian, tidak banyak menuntut dari pasangan. Kecuali menuntut
anak. Tapi hal itu justru jadi masalah besar untuk Megan, karena dia tidak
ingin memiliki anak. Megan pun tidak sebaik yang dibayangkan Rachel tho?
Buktinya dia sampai hati berselingkuh dari Scott yang katakanlah baik dan
perhatian sebagai suami. Sama aja dengan Tom. #Eeehh ... Malam sebelum Megan
hilang, Scott mengaku bertengkar dengan Megan, tapi bukan menyangkut masalah
anak sebagaimana yang biasanya terjadi, lalu masalah apa dong? Biasanya kan
mereka nggak pernah bertengkar kecuali masalah anak. Perselingkuhankah? Tapi
kan Scott nggak tahu Megan berselingkuh sebelumnya? Iyakah? Hhmmmm ... hal-hal
seperti ini yang memunculkan banyak tanda tanya dalam membaca buku ini. Ini yang
sialnya bikin saya nggak bisa berhenti baca buku ini sampai selesai. Saking penasarannya.
Tampilan The Girl On The Train di IJak |
Berbagai hint yang dihadirkan dari
awal cerita tetap tak mampu membuat saya menebak, siapa sebenarnya pembunuh
Megan. Wait, pembunuh? Yaps, karena beberapa minggu setelah Megan
menghilang, Megan ditemukan mati terkubur di hutan tak jauh dari tempatnya
tinggal. Dan pembunuhnya pasti salah
satu dari mereka, tapi siapa? Rachel yang karena mabuk tidak menyadari apa yang
dilakukannya? Scott yang bertengkar dengan Megan sebelum dia menghilang? Anna
yang ... apa ya motifnya? Juga Tom yang juga pernah berselingkuh seperti Megan?
Atau terapisnya yang dilihat Rachel berciuman dengannya di padi sebelum dia
menghilang? OH tidaaaaaaak, beri jawaban siapa yang membunuh Megan. Hahahha,
jangan lupa baca yak!!
Seperti sudah saya singgung di atas buku
ini membuat saya tidak bisa berhenti membacanya sampai saya menemukan jawaban
dari berbagai pertanyaan yang muncul di kepala. Menurut saya tidak ada karakter
antagonis atau protagonis dalam buku ini, setiap karakter digambarkan memiliki
kekurangan dan ketakutan akan sesuatu. Membaca berbagai sudut pandang mereka
sejujurnya membuat saya merasa lelah, karena cara penulis menggambarkan satu
sudut pandang, membuat kita bisa membayangkan perasaan setiap tokoh, seperti
Rachel yang sulit melupakan Tom, berbagai ketakutan dan fikiran negatif yang memang
biasa ditemui pada alkoholik. Yang saya tidak suka dari sudut pandang Rachel
ini adalah caranya Menggambarkan Cathy, teman seapartemennya. Saya merasa
Rachel menilai Cathy tertalu buruk dan tidak tulus, tapi sepertinya itu efek
paranoidnya pada semua orang. Hanya saja saya merasa tidak adil saja pada Cathy.
Megan yang merasa jenuh karena kehilangan
rutinitas dan sesuatu yang disukainya, seni. Membuat saya ikut ngerasa “bete
banget sih gue, idup cuma buat nunggu laki balik kantor doang”, yah
semacam itulah. Apa coba yang bikin dia diculik? Itu kan karena ...
Anna, sebagai seorang selingkuhan yang
naik status jadi istri resmi, aku kira wajar jika Anna memiliki ketakutan
tersendiri terhadap Rachel yang secara mental juga tidak stabil dan sering
mabuk. Ketika dia menjadi semakin protektif, wajar juga toh dia tidak ingin
kehilangan suami dan anak yang sekarang merupakan pusat hidupnya.
Buku ini memang bikin penasaran untuk menjawab semua pertanyaan yang muncul di kepala ketika membacanya, tetapi endingnya tidak terlalu meledak-ledak tapi cukup membuat kita berpikir, kok bisa sih?
Film The Girl On The Train |
Pesan moral dari buku ini adalah, jangan
mabuk, karena itu akan mengacaukan segalanya. Dan Cepatlah move on dari masa lalu, nggak melepaskan masa lalu kamu
juga nggak akan bikin dia tiba-tiba kembali padamu kok, yhaaa ... life must go on with or without you.
Hidup terlalu indah untuk dihabiskan hanya dengan mengenang seseorang, eeeeaaaaa
....
Dan satu lagi, jangan percaya orang di sekelilingmu, belum tentu kamu benar-benar mengenalnya.
Jadi, buat yang penasaran, segeralah beli bukunya
atau tonton filmnya, walaupun biasanya film dan buku tetep ada bedanya. Buat yang
jauh dari bioskop dan nggak punya duit buat beli bukunya macam diriku ini,
iJakarta bisa jadi alternatif yang menyenangkan lho, walaupun waktu peminjaman
terbatas dan kudu siap-siap pegel mata, hehe. Tapi yang terbiasa baca ebook,
rasanya tak masalah. Lagipula banyak buku lain yang nggak kalah kece disana. So,
buruan donlot iJak nya, hahhaha, malah promosiin ijak.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Reading Challenge yang diadakan Noura Books dan Ijakarta.
Banyak pelajaran dari buku ini yang bikin pembacanya cringe, bahkan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. So, harus pinter2 milih dan involve God in every step that we take. Apapun itu.
BalasHapusSelain itu there are varied abusive relationship told in this book:
1. Kalau dia berbuat salah namun malah play victim dan bilang kesalahannya karena elo, atau menyalahkan semua orang kecuali dirinya sendiri, dan menuntut lo untuk memaklumi kesalahannya, you’re in abusive relationship.
2. Kalau dia selingkuh dan ketika ketahuan elo dipukul atau dia play victim dan memanipulasi lo sampai lo berpikir, “gue nggak cukup baik makanya dia selingkuh”, you’re in abusive relationship.
Kalau mau tolong orang juga harus pilih-pilih, takutnya malah kita yg jadi sasaran atau yg jd orang yg disalahkan :))
Iya kak, makasih pandangannya. Bener-bener harus hati-hati, ga gampang tertipu dan lebih terbuka dalam menilai orang dan diri sendiri.
HapusUlasannya menarik, bikin penasaran sama isi keseluruhan buku.
BalasHapusTapi ada beberapa hal yang mengganggu, Vy, terlalu banyak typo. Jadi, lebih baik diedit ulang lagi aja, jadi biar makin enak bacanya. Kan sayang kalo isinya udah bagus tapi typo-nya bikin nggak nyaman yang baca.
Untuk meminimalisir, sebelum memutuskan untuk di-publish, dibaca berulang-ulang lagi aja posting-an kita. Kalo ada yang kurang, pasti akan kerasa nggak nyaman waktu kamu baca juga. Hehehehehe. Cuman saran. ^^
Makasih masukannya mbak Astuti hehehe.
Hapus